Sekalipun
katanya ada orang bisa berjalan di atas air berkat membaca doa secara
benar, ia sadar dan yakin itu tidak harus berarti bisa terwujud dalam
pengertian dapat disaksikan dengan mata kepala sendiri. Ia menganggap
kemampuan berjalan di atas air hanya mitos, dongeng, khayal, atau hanya
perlambang bebasnya tubuh seseorang dari keterikatan duniawi. Maka
suatu ketika sampailah ia, Guru Kiplik, di sebuah pulau terpencil nan
makmur berpenduduk hanya sembilan orang yang tak putus-putusnya berdoa.
Guru Kiplik yang terkenal tekun mengajari orang-orang cara berdoa yang
benar langsung menilai bahwa penduduk pulau berdoa dengan cara yang
salah. Ia menilai doa mereka justru memohon kutukan bagi diri sendiri.
Akhirnya dengan bersusah-payah Guru Kiplik mengajar penduduk pulau cara
berdoa yang benar. Setelah sembilan orang itu dianggapnya berhasil,
pamitlah Guru Kiplik untuk melanjutkan perjalanan. Namun di atas perahu
layar yang membawanya pulang, Guru Kiplik dibuat terpana. Matanya
terkerjap-kerjap, mulutnya menganga, karena tak percaya atas apa yang ia
lihat. Guru Kiplik menyaksikan bagaimana sembilan orang penghuni pulau
tiba-tiba mengejarnya kembali dengan berlari-lari cepat sekali di atas
air. Mereka mendekati perahu layar sambil berteriak-teriak, "Guru!
Guru! Tolonglah kembali Guru. Kami lupa lagi cara berdoa yang benar!"
Sebagaimana ringkasan cerita di atas, begitulah kira-kira sebuah ironi dan satire hendak disampaikan Seno Gumira Ajidarma lewat cerpennya berjudul Dodolitdodolitdodolibret.
Ironi, bahwa kebenaran yang seseorang genggam dan anut dengan kacamata
kebenarannya sendiri kadang bukan merupakan sebuah kebenaran absolut. Satire,
bahwa dibalik cerpen yang tokoh imajinernya Guru Kiplik, terkandung
pesan mendalam yang terasa mengolok formalitas kaku kita dalam melihat
kebenaran, atau menggelitik-gelitik ketaatan buta kita pada versi-versi
kebenaran yang belum tentu paling benar.
Begitulah kedigdayaan cerpen menafsir manusia. Kehidupan manusia
yang hitam-putih, dualisme antara bayang-bayang iblis dan malaikat,
penuh anomali dan pertentangan, serta sarat dengan tonjolan sikap yang--
pinjam istilah Pakubuwana IV-- serba "adigang-adigung-adiguna",
mendudukkan esensi manusia sebagai semesta tafsir yang luas dan komplek,
sebagaimana manusia itu sendiri yang suka-sukanya pula menafsirkan
alam semesta.
Semesta diri manusia yang luas dan komplek hanya mungkin
dijangkau utuh oleh yang sejatinya tak tunduk pada keterbatasan, yakni
gelombang gagasan dan imajinasi. Karena ia adalah perwujud dari
gelombang gagasan dan imajinasi, maka cerpen berkemampuan hadir aktif
menafsir manusia, meski ia produk budaya dari pikiran manusia itu
sendiri.
Ketika menafsir manusia, cerpen tak tunduk pada keterbatasan dan
dengan begitu ia bebas menjelajahi eksistensi manusia dengan seluruh
realitasnya, termasuk bebas mengaduk-aduk ketidakberesan yang
berlangsung di tengah manusia dan bebas masuk ke semua alam akal, ruh,
ide, laku, serta dinamisasi alam materinya. Dalam rangka menafsir,
cerpen bahkan mampu menemukan apa yang tersembunyi di ruang gelap
pikiran manusia sekalipun dan punya kedigdayaan untuk bilang "tidak"
justru di saat culture masyarakat sekitar penulisnya lebih sering
berkata "ya" sebagai bentuk kepatuhan terhadap entah penguasa entah
dogma.
Ilham
Terkadang
berseberangan dengan kedudukan penulisnya yang "terhormat" atau "tidak
terhormat" (dalam budaya penilaian masyarakat kita yang cenderung
menggunakan kacamata penilaian tata-tingkat), atau berlawanan dengan
kelemahan-kelemahan penulisnya yang secara realitas hidupnya mungkin
belum bahagia dan belum berdaya, cerpen justru serba memahami apa yang
semua orang ingini berkait kehormatan, dan ketika ia bicara tentang
kebahagiaan, ia sangat teliti menjelaskan apa arti bahagia lengkap
dengan atribut-atributnya.
Kemudian tak terhitung jumlah cerpen yang aktif menafsir manusia berkait ritme kehidupan mereka yang paling absurd atau
paling cabul sekalipun dengan berbagai sudut pandang tingkah-laku:
kekerasan, ketidakadilan, kemunafikan, kepandiran, frustasi, kegilaan,
kesenangan, kekuasaan, dendam, asmara, bahkan hingga ke batas-batas
sakral keyakinan yang masih manusia sering ragukan maka dengannya
digedor berulang-ulang, dan semua dijangkau dengan beragam gayanya
menafsir, entah dengan narasi gurauan, sindiran, romantisme, harapan,
atau to the point menonjolkan ekspresi protes, kegeraman,
provokatif, penghinaan. Di posisi ini, penulis cerpen kerap hanya
menjalankan peran sebagai narator atau penyampai atas "ilham" yang
diajukan secara misteri, dalam keserbaan waktu, lewat konstruksi
kehadiran serba misterius pula, ke semesta pikirannya. Di posisinya,
berkait ilham dan proses kreatif, penulis sendiri banyak mengakui apa
yang mendasari terciptanya karya-karya cerpen mereka, bahwa kebanyakan
mereka tidak tahu, atau kebanyakan bilang lupa, atau mengatakan, "semua
kehendak ilham. Penulis hanya alatnya."
Inkonsistensi tafsir kuasa manusia
Kedigdayaan
cerpen menafsir manusia memang sesekali berbuah silang-sengketa di
jagat manusia. Ketika cerpen hadir menyentil, menggugat, atau merespon
status quo pemahaman manusia dengan tafsir pemahaman
literernya yang berbeda, tak jarang ia disikapi pro dan kontra. Inilah yang pernah dialami sebuah cerpen berjudul
Langit Makin Mendung yang tergelincir kala ditarik ke pro-kontra demikian. Begitu pula dengan cerpen
Jangan Main-Main dengan Kelaminmu yang sempat dianggap kontroversial juga saat dibenturkan dengan pemahaman yang hidup di tengah masyarakat.
Betapapun tafsirnya kadang tak dikehendaki, sungguh tak adil memang jika dilakukan pengikisan terhadap digdaya tafsir cerpen
lewat
kedigdayaan kuasa manusia entah atas nama moral, kekuasaan, atau dogma
suci, sementara pada saat yang sama realitas kekuasaan selalu jauh
dari harapan dan aktualisasi tingkah-laku sehari-hari manusia sendiri
semakin jauh pula dari mengakomodasi nilai-nilai moral dan nlai-nilai
dogmatis kesucian itu. Inilah sikap inkonsistensi kita, bentuk
kemunafikan kita, serba kemenduaan kita. Keteguhan kita menggusur atau
mengeliminasi cerpen atau karya seni lain yang dianggap bertentangan,
tidak diimbangi dengan keteguhan kita mengikis penyakit masyarakat,
laku korupsi, ketidakadilan, kekerasan, serta berbagai maksiat di
negeri ini. Di sinilah ironinya bahwa kita masih menyandarkan segala
sesuatu pada hukum komplek, bahwa siapa yang terkuat dan terbanyak maka
ia yang menang. Pada sebuah kesempatan penyair dan budayawan Goenawan
Mohamad pernah mengajukan sebuah sindiran,
kita hanya percaya pada sastra yang menentramkan, bukan pada sastra yang menggelisahkan.
Ya, pada saat yang sama, kita memang hanya percaya pada cerpen yang
menentramkan meski yang menentramkan itu berpotensi membonsai
kreatifitas kita. Entah sampai kapan.(RD)