Kamis, 15 Agustus 2013

CERPEN ITU BEBAS

Jangan takut menulis cerpen. Tulislah cerita yang ingin Anda tulis. Cerpen itu bebas. Ketika ide sampai ke kepala Anda, janganlah Anda memikirkan dulu baik dan buruk tulisan Anda, atau memikirkan aturan-aturan ketat yang menurut saya justru akan membonsai kreatifitas menulis anak bangsa. Terkutuklah penulis-penulis yang merasa dirinya paling pandai, paling hebat, paling mumpuni, sehingga semena-mena mengadili tulisan orang lain sebagai tak bermutu. Dan lebih terkutuk lagi mereka yang justru sengaja agar tunas-tunas baru penulis tidak berkembang karena mereka begitu serakahnya hendak bersatus quo di bidang ini.






Jangan takut untuk mulai menulis cerpen. Tulislah apa saja ide cerpen yang ingin Anda tulis. Menulis cerpen itu bebas. Berikut saya tampilkan lagi contoh cerpen saya, yang saya tulis dengan pikiran bebas. Semoga cerpen ini bisa jadi pencerahan bagi Andai yang mau belajar menulis.



MUKTAMATA



Tidak jelas kenapa tempat yang disebut kantor itu bisa berdiri. Hanya kios sepetak. Hanya sebuah meja buruk berikut kursi murahan di dalamnya. Lalu di samping meja terpajang sebuah etalase kaca berisi berbagai koleksi benda-benda aneh. Lalu ada sebuah bangku kayu panjang dari pemilik kios yang berbaik hati meminjamkannya. Selain itu sudah tak ada benda berarti di dalam. Di depan terbentanglah sebuah spanduk bergambar keris bertuliskan “SERBA ANTIK KOLEKSI MANYAR” yang menjadi penjelasan bahwa kios itu menjual benda-benda tua dan unik.

     Yiyin satu-satunya pegawai yang bekerja di tempat itu. Di minggu pertama bekerja, tak ada gairah yang menyinggahi janda beranak tiga ini kecuali bingung tak terperi melihat tingkah-laku Ebel, lelaki muda yang mempekerjakannya. Ebel berambut panjang, bermata tajam, berkepribadian dingin, namun gerak-geriknya mengisyaratkan ada gangguan psikologis dalam dirinya. Lelaki itu lebih sering bicara sendiri. Atau bersenandung, dengan senandung-senandung aneh yang tak pernah didengar apalagi dimengerti. Dan di minggu pertama itu Yiyin jelas berputus-asa karena waktunya hanya habis untuk termenung di kios sambil bergumul dengan pikiran-pikiran tak menentu dari melihat gerak-gerik tak lazim tuannya. Setiap menit dirasakannya ada misteri menegangkan. Sementara, berhari-hari dilewati, belum seorangpun pernah singgah di kios mereka.

     Memasuki minggu kedua barulah Ebel menjelaskan apa sebenarnya bisnis di kios itu. “Di sini kita dagang,” katanya pada Yiyin. “Kita dagang benda-benda gaib sebagaimana kau lihat di etalase itu. Hanya orang-orang tertentu yang akan membelinya untuk berbagai kegunaan. Sekalipun jaman sudah modern, sekelompok orang fanatik masih percaya pada tuah keris, batu-batu, dan artefak kuno. Kita memang belum melihat mereka datang. Tapi percayalah, keberadaan kios kita telah tersiar dan mulai mengundang mereka.

     Maka mengertilah Yiyin. Berminggu-minggu, berbulan-bulan, ia semakin mengerti setelah orang-orang mulai berdatangan di kios. Ia tak mengira ternyata benda-benda yang dijual di kios nilainya bisa sampai ratusan ribu. Pembeli yang datang pun tak hanya dari kalangan biasa, namun lebih banyak pengusaha kaya dan pejabat-pejabat bermobil mewah. Kadang mereka tak hanya datang sekali, tapi berkali-kali.

     Setiap kali Yiyin takjub, Ebel hanya tertawa-tawa. Suatu siang sang janda yang masih berparas ayu ini tak kuasa lagi menahan tanyanya.

     “Kenapa benda-benda ini begitu mahal? Darimana kau mendapatkannya hingga tak habis-habis? Lalu kenapa pula kau sering bicara sendiri?”

     Ebel tak segera menjawab. Ia membuka etalase dan mengambil sebuah batu berwarna kuning terang kecoklat-coklatan. Batu ini akan aku berikan kepadamu. Namanya batu Fatima. Nanti malam datanglah ke rumahku mengambilnya. Setelah batu ini kau miliki, kau akan tahu kegunaannya. Soal darimana aku mendapatkannya dan soal kenapa aku sering bicara sendiri, sebaiknya kau tak perlu tahu.”

     “Kenapa tidak sekarang saja kau berikan?”

     “Tidak. Aku harus bungkus dulu batu ini dengan helai-helai kembang bungur yang pohonnya banyak tumbuh di tepi laut. Aku akan carikan kembang bungurnya nanti sore agar saat malam kau datang batunya telah siap dan tinggal kau simpan.”

     “Kau ini seperti dukun saja. Hanya dukun yang bermain-main dengan batu.”

     “Aku bukan dukun. Tepatnya aku hanya seorang muktamata.”

     Dahi Yiyin berkenyit. “Apa itu muktamata?”

     “Sudahlah. Kalau kau tak mengerti, jangan jadi pikiran.”

***

     Malam harinya Yiyin benar-benar datang ke rumah tuannya. Rumah Ebel ternyata gubuk biasa, tak lebih bagus dari kios yang ia sewa. Rumah itu terhimpit di pinggir pemukiman penduduk dan adanya di ujung sebuah gang sempit. Suasana rumah sunyi saat Yiyin mengetuk pintunya berkali-kali. Tapi sepeda motor Ebel terparkir di luar menandakan ia ada di dalam.

     Yiyin terkejut saat pintu dibuka. Bukan terkejut karena melihat Ebel yang muncul di baliknya, namun karena dilihatnya banyak kucing berparas aneh ikut berkerumun di sekitar Ebel.

     “Masuklah,” Ebel memberi  jalan pada tamunya. “Jangan takut, semua ini kucing-kucing baik peliharaanku. Aku kesepian bila hidup tanpa kucing-kucing ini.”

     Yiyin masuk dengan langkah kikuk. Sebelum duduk, ia sempat memperhatikan pemandangan lain di rumah Ebel. “Kau juga menyukai burung, ya?” ia mengomentari apa yang ia lihat.

     “Begitulah. Hanya empat burung yang aku pelihara. Dua ekor burung kenari, dua ekor burung  Robin. Aku juga kesepian bila tak ada burung-burung itu. Kau mau minum apa, Yin?”

     “Jangan repot-repot. Aku tak lama. Aku pikir kau bergurau saat bilang hanya hidup sendiri. Kenapa kau tidak tertarik berumahtangga?”

     Ebel tak menjawab. Hanya tersenyum. Ia berlalu sebentar dari hadapan Yiyin, lalu muncul lagi sambil membawa sebuah bungkusan kain putih kecil. “Justru aku yang berharap agar kau segera menikah lagi. Kasihan anak-anakmu. Kasihan juga dirimu jika harus banting tulang sendiri. Simpanlah batu ini. Semoga membantu.”

     “Pernah dua kali aku hamper menikah lagi. Dua-duanya gagal karena lelaki-lelaki itu ternyata hanya menginginkan tubuhku saja. Kini aku jelas semakin tua. Sepertinya sudah tak ada yang tertarik padaku.”

     Ebel mengambil salah-satu kucingnya dan meletakkan kucing itu di pangkuan. “Jangan putus asa. Banyak lelaki masih akan mengejarmu,” katanya sambil membelai-belai kucing itu. “Sekarang pulanglah dan simpan batu Fatima ini baik-baik,” ia melepas tangannya dari kucing, lalu menarik tangan kanan Yiyin dan menggenggamkan bungkusan kain putih kecil tadi di telapak jemari lembut perempuan itu.

***

     Rumah Yiyin yang berstatus janda beranak tiga itu terletak di komplek perumahan murah. Setahun, dua tahun, hingga tiga tahun berlalu sejak ia menyimpan batu pemberian Ebel, mulai terjadi beberapa perubahan dalam hidup Yiyin. Rumahnya tak henti-henti dikunjungi lelaki. Tidak hanya satu lelaki, dua, tiga, empat, lima, berganti-ganti.Di komplek perumahan Yiyin telah menjadi bahan gunjing tetangga-tetangga. Tapi Yiyin tak peduli. Ia berpikir lelaki-lelaki itu telah memenuhi banyak kebutuhan materi hidupnya. Menutup pintu dari mereka hanya karena gunjing-gunjing tetangga sama artinya ia mengundang kembali masa lalunya yang pahit. Lagipula apa salahnya dengan lelaki-lelaki itu di rumah, toh mereka hanya bertamu untuk menggodanya dengan segudang cinta palsu. Yiyin hanya memanfaatkan mereka, namun belum pernah sekalipun ia memberi imbalan erotis pada pria-pria hidung belang itu.

     Yiyin sendiri lupa sejak kapan ia mulai disukai banyak lelaki. Yang jelas kehadiran mereka mulai menyibukkannya. Tak hanya sebuah mobil dan perhiasan berbagai-bagai yang telah ia dapatkan, namun juga uang yang ditabungnya dengan jumlah hamper mencukupi untuk membeli sebuah rumah baru.

     Yiyin juga sudah lama tak bekerja lagi di kios Ebel. Perubahan drastis yang dialaminya  membuatnya tak tertarik lagi ada di sana. Hanya saja, pada akhirnya ia tetap merasa bersalah, karena telah meninggalkan Ebel begitu saja tanpa sepatahpun kata-kata pamit. Tapi Yiyin berjanji suatu ketika ia akan mengunjungi Ebel kembali. Entah bagaimana keadaan lelaki muda itu sekarang. Masihkah ia hidup bersama burung dan kucing-kucing peliharaannya? Masihkah di kios ia kerap bicara sendiri?

     Tapi, empat tahun lagi berlalu, Yiyin ternyata tak pernah membuktikan keinginannya itu sekedar untuk mengunjungi Ebel.

***

     Bulan kelam. Langit merah gelap kesumba. Selisip angin malam terasa seperti lilitan dingin kulit ular. Transportasi kota sudah lengang. Diam. Semua lampu merah sudah kerlap-kerlip menyala kuning. Hanya satu-dua lalu-lalang kendaraan. Di kelengangan itulah Ebel mengendarai sepeds motornya pelan-pelan. Tiba-tiba sesosok perempuan menyetop di pertigaan taman kota. Wajahnya cantik tapi pucat. Harum aneh menyengat dari tubuhnya yang dibalut selembar gaun terusan tipis.Ia biarkan rambutnya terurai hingga menutup dada.

     “Antar aku ke Manyar,” katanya seraya memandang Ebel dengan kelopak mata kopong hampa.

     Ebel tak banyak bicara. Tidak pernah ia tertarik bicara lama-lama. Segera ia tancap gas begitu si perempuan hinggap di boncengan motornya. Motor Ebel pun melintas melewati beberapa ruas jalan besar. Lalu keduanya memasuki sebuah perkampungan sunyi. Di situ motor semakin melaju kencang dan baru berhenti setelah melewati jalan-jalan setapak tepatnya di bibir hutan kecil yang bertahun-tahun tak pernah dilewati manusia lagi.

     Keduanya sempat hening. Cukup lama.

     “Kebiasaanku mengantar hanya sampai di sini,” kata Ebel ketika dilihatnya perempuan itu lama tak mau turun dari boncengan motor. “Turunlah. Jangan lupa ongkosnya. Aku ingin tahu apa yang kau punya untuk membayarku.”

     Sosok halus perempuan itu masih berkeras belum mau turun. “Aku ingin kau ikut masuk dan temani aku ke metropolis Manyar,” ujarnya agak memaksa dengan suara serau nan angkuh.”Sesekali kau ikutlah menghadiri pesta kami. Apa kau tak tertarik menari semalam suntuk bersamaku, Ebel?”

     Ebel tersenyum kecut, seperti jijik mendengar rayuan itu. “Sudahlah jangan bergurau. Aku merasa tak pantas. Itu bukan duniaku. Jika mau menari, aku hanya menari dengan sesama manusia. Sekarang bayar saja ongkosnya, lalu aku bukakan pintu Manyar untukmu, dan setelahnya biarkan aku pergi.”

       Sosok halus perempuan itu mengangkat tubuhnya dan ia sengaja melayang-layang mengitari Ebel. Ia tampak kesal, kecewa, mungkin juga marah. Tapi Ebel tak peduli. Dasar sundal, pikirnya, sudah mati dan gentayangan masih saja menggoda manusia. Mata Ebel hanya reflek mengikuti setiap gerakan. Tapi ia geram ketika mahluk itu mulai berani mempermainkannya dengan melempar buah-buah boni yang pepohonannya banyak tumbuh di sekitar hutan Manyar.

     “Hei, berhenti melempar. Kau mau masuk ke metropolis Manyar atau tidak?

     Perempuan itu tertawa. Cekikikan. Ada kepongahan dan kesombongan dari caranya menatap Ebel. “Aku tak yakin kau masih bisa membuka pintu Manyar itu, Ebel!” tiba-tiba ia meremehkan kemampuan Ebel. “Cobalah kau buktikan sekarang,” tantangnya ketus. “Kau akan sadar takdirmu sebagai muktamata sudah selesai.”

       Ebel hanya geleng kepala melihat ketengilan itu. Dalam tujuh tahun terakhir, baru kali ini ada mahluk astral mengoloknya. Ia gusar. Marah. Mulut Ebel akhirnya komat-kamit melapas mantra. Sejenis mantra japa yakni mantra-mantra suci kuno. Mantra japa itu ia ulang-ulang agar pintu gaib Manyar terbuka seperti biasa setiap ia memantrainya. Ternyata, memang tak bisa. Baru kali ini Ebel tak bisa.

     Tak menyerah, lalu ia coba lagi. Gagal lagi. Coba lagi. Gagal juga. Ada yang tidak beres, pikir Ebel. Tapi ia tak yakin ini berkait dengan takdirnya sebagai muktamata sudah selesai. Ia serta-merta hanya ingat dengan burung-burung dan kucing-kucing bior peliharaannya di rumah. Ia berfirasat sesuatu terjadi dengan binatang-binatang kesayangannya. Ketika Ebel cepat-cepat memutar motor hendak meninggalkan hutan Manyar untuk pulang memeriksa apa yang sebenarnya terjadi di rumah, tiba-tiba sundal halus tadi melemparnya lagi.  Empat lemparan keras menghantam kepalanya.

       Kali ini Ebel marah besar. Kesabarannya tak terkendali lagi. Namun kemarahan itu segera susut begitu melihat apa gerangan yang baru menerpa kepalanya. Dilihatnya empat ekor burung kecil, menggelepar-gelepar sebentar, lalu mati di tanah. Keempat-empatnya ternyata burung-burung peliharaan Ebel, burung terpilih dari jenisnya. Sundal halus yang kini menghinggap di pohon hanya tertawa-tawa setelah merenggut nyawa hewan-hewan tadi. Entah bagaimana, sepertinya sundal itu memang tahu energi muktamata Ebel selama ini terharmoni dari adanya burung-burung itu. Pantas mantra Ebel tadi jadi hambar dan kehilangan digdaya ketika ia coba-coba membuka pintu gaib Manyar: pintu yang dapat menghubungkan dunia fisik manusia dengan metropolis mahluk kegelapan tempat para setan, jin, dan berbagai roh gentayangan biasa berkumpul atau berpesta.

     Sundal itu akhirnya turun dan mengawasi Ebel dari jarak lebih dekat. “Ebel, akhirnya sekarang kau kembali lagi sebagai manusia biasa,” ejeknya sumringah. “Hewan sucimu tak lagi mampu memberimu glamour yang menjadi aura muktamata-mu selama ini. Seharusnya manusia seperti kalian memang tidak berhak ikut campur dengan dunia kami, sebagaimana kami yang selalu kalian tindas jika ikut campur dalam dunia kalian. Tapi kalian egois. Serakah. Selalu ada dusta di antara kita. Sebenarnya kalianlah yang selalu mengusik kami. Kalian cari berbagai kunci dan rumus-rumus purba agar dunia kita terus berhubungan, semuanya untuk kepentingan kalian. Keserakahan kalian akan dunia ini selalu turun-temurun tiada batasnya. Demi kemakmuran semu, kekuasaan, kesenangan, kesaktian, asmara buta, balas dendam, tiada henti-hentinya kalian mengajak kami bersekutu, padahal itu hanya tipu daya kami agar kalian sesat. Permufakatan gelap seperti ini tak akan usai hingga semesta kita berakhir.”

       Ebel menatap tajam pada perempuan halus itu dengan sikap mulai mengecam. “Hei mahluk terkutuk, jangan menceramahi aku. Takdirku sebagai muktamata bukan sekedar untuk membuka pintu gaib Manyar. Ketahuilah, aku juga bisa menghukummu jika aku mau!”

      Si sundal tertawa melengking. Lalu cekikikan. Tertawa melengking lagi. Lalu cekikikan lagi. Suaranya benar-benar memecah keheningan hutan. Dan dari sikapnya, ia semakin berani saja terhadap Ebel. “Kau pikir hanya burung-burung sucimu yang aku lenyapkan?” katanya agak mengolok. “Kucing-kucing bior peliharaanmu itupun telah aku habisi. Mudah bagiku membujuk dan merayu bocah-bocah bengal anak para tetanggamu agar meracuni kucing-kucing itu dengan makanan enak. Seluruh aura kekuatanmu telah hancur sekarang. Kau telah kosong! Kosong!”

     Ebel gusar lagi. Ia coba membuktikan kata-kata sundal itu. Ia coba keluarkan kemampuannya menghukum mahluk-mahluk halus. Tetapi jangankan menghukum, menyentuh perempuan halus itupun ia sudah tak bisa.

     Si sundal mencibir. Semakin sinis saja ia. “Aku sarankan kau pulang saja dan lupakan petualanganmu menjadi muktamata, Ebel. Apa kau tidak lelah terus-terusan menjadi juru kunci kami di pintu gaib Manyar ini? Apa kau tidak bosan menggenggam terus sebatang takdir hidup yang aneh?”

     Gila! Gila! Mula-mula Ebel masih tak menerima keadaan yang terjadi. Tetapi ia berpikir. Lama ia berpikir. Sundal ini entah kenapa tahu juga tentang yang benar, pikirnya.

     Keadaan semakin jelas. Setelah melihat dua burung kenari dan dua burung robin miliknya mati, lalu mendengar kucing-kucing biornya ikut mati, jelas Ebel bukan siapa-siapa sekarang. Jika menyoal tentang kelelahan, sebenarnya Ebel memang lelah. Dibilang bosan, ia juga mulai bosan. Sudah tujuh tahun ia menjalankan peran sebagai muktamata, sebutan untuk orang yang dapat berinteraksi penuh dengan mahluk-mahluk astral. Selama memerankannya, setiap malam ia tak pernah melewatkan perjumpaan dengan mereka, menjadi pelayan mereka di pintu gaib Manyar, dan dari mereka ia berburu mendapatkan imbalan benda-benda mistik dengan nilai ekonomi tinggi. Mungkin memang sudah saatnya ia berhenti. Toh, batin Ebel sebenarnya tak juga pernah merasa tenang selama menjalani kehidupan sebagai muktamata, walau jika ia masih tertarik, ia bisa saja melanggengkannya lagi dengan mencari burung-burung baru yang serupa dan kucing-kucing bior yang serupa pula. Tapi sudahlah, tak lagi dipikirnya untuk ke sana.

     Akhirnya Ebel menjauh dari sundal itu. Ia tentu berjanji untuk menjauh selama-lamanya dari kehidupan jenis mereka. Ebel bahkan segera menutup kios penjualan barang-barang gaibnya.

     Sejak saat itulah hidup Ebel berubah. Ia tak pernah lagi mengembara di dunia malam. Ia tak pernah lagi sua mahluk astral apapun, kecuali di suatu hari, ketika ia membaca sebuah Koran pagi yang memberitakan sebuah kecelakaan maut di jalan tol yang merenggut nyawa seorang perempuan kaya raya bernama Yiyin. Pada malam harinya wujud halus perempuan itu bertamu ke rumahnya dan menyerahkan sebuah bungkusan kain putih kecil berisi batu Fatima dan lembaran-lembaran kembang bungur yang telah mengering.

     “Ebel, antar aku ke Manyar,” perempuan halus itu memohon padanya.

     Ebel lari tunggang-langgang meninggalkan rumahnya dan berteriak-teriak minta tolong kepada para tetangga. (*)

Tidak ada komentar: