Kamis, 15 Agustus 2013

CERPEN ITU BEBAS

Jangan takut menulis cerpen. Tulislah cerita yang ingin Anda tulis. Cerpen itu bebas. Ketika ide sampai ke kepala Anda, janganlah Anda memikirkan dulu baik dan buruk tulisan Anda, atau memikirkan aturan-aturan ketat yang menurut saya justru akan membonsai kreatifitas menulis anak bangsa. Terkutuklah penulis-penulis yang merasa dirinya paling pandai, paling hebat, paling mumpuni, sehingga semena-mena mengadili tulisan orang lain sebagai tak bermutu. Dan lebih terkutuk lagi mereka yang justru sengaja agar tunas-tunas baru penulis tidak berkembang karena mereka begitu serakahnya hendak bersatus quo di bidang ini.






Jangan takut untuk mulai menulis cerpen. Tulislah apa saja ide cerpen yang ingin Anda tulis. Menulis cerpen itu bebas. Berikut saya tampilkan lagi contoh cerpen saya, yang saya tulis dengan pikiran bebas. Semoga cerpen ini bisa jadi pencerahan bagi Andai yang mau belajar menulis.

ASYIKNYA MENULIS CERPEN

Menulis cerpen itu asyik. Dibilang asyik karena tidak makan waktu dan bisa diselesaikan sekali duduk. Saya bukanlah penulis terkenal atau cerpenis populer. Tapi menulis, terutama menulis cerpen, telah menjadi keasyikan yang takl bisa saya tinggalkan. Saat ide-ide muncul di kepala saya, justru saya akan pusing tujuh keliling jika tidak menuntaskannya di atas kertas menjadi sebuah tulisan. Setiap menulis saya tidak pernah memikirkan aspek komersial. Saya bukan penulis picisan. Pernah sih saya menjadi penulis picisan, waktu saya masih SMA dan kuliah, cerpen saya banyak dimuat di majalah remaja seperti CERIA REMAJA, HAI, ANITA, juga beberapa koran. Dari dimuatnya cerpen-cerpen itu saya selalu menerima honor. Tapi kemudian saya sadar, jika orientasi saya duit terus, selamanya saya akan dikotak-kotak oleh kriteria-kriteria yang ditentukan oleh media, dan dengan begitu saya merasa tulisan saya tak akan meningkat kualitasnya. Saya ingin bebas. Saya ingin menulis apa saja yang mau saya tulis. Lagipula, ternyata di media-media, banyak bercokol penulis-penulis yang sok pintar, sok paling hebat, sok senior, dan mereka itulah yang terlampau ketat menentukan kriteria tulisan yang baik itu bagaimana, harus seperti apa, dan sebagainya. Saya bukan tipe orang yang mau diatur seperti itu. Justru saya sering tertawa sendiri, kalau mereka memang paling benar dan hebat, lho kok sampai saat ini belum satupun penulis di Indonesia meraih Nobel Sastra! Jadi, jika Anda ingin menjadi penulis, jangan takut memulai, atau takut tulisan Anda dinilai buruk. Ukuran baik-buruknya sebuah tulisan adalah relatif.






Berikut ini saya tampilkan salah satu cerpen saya. Semoga bisa membantu dan menjadi pencerahan bagi Anda yang ingin belajar menulis:

MENULIS ESSAI ATAU OPINI

Bagaimana caranya menulis essai atau opini? Menulis essai atau opini sebenarnya tak jauh berbeda tekniknya seperti menulis artikel atau lainnya. Bedanya, essai atau opini bukanlah tulisan fiksi, namun berupa sebuah analisa atau pendapat mengenai hal-hal aktual yang terjadi di sekitar kita. Setiap orang berhak mengemukakan pendapatnya, termasuk lewat tulisan. Namun untuk berpendapat, hendaklah disertai data-data dan analisa faktual, boleh mengkritik namun alangkah baiknya jika kritik disertai dengan alasan-alasan atau argumen yang bisa kita pertahankan, termasuk juga solusi-solusinya.


Apakah essai dan opini harus sepenuhnya ditulis dengan kalimat-kalimat ilmiah yang ketat? Saya rasa tidak juga. Di sini saya lampirkan sebuah contoh tulisan essai saya, moga-moga bisa membantu dan mencerahkan bagi Anda yang tertarik belajar menulis essai atau opini:

MENULIS YUK

Sebenarnya menulis adalah pekerjaan yang mengasyikkan. Orang yang mengatakan bahwa menulis merupakan kegiatan sulit, karena ia belum berani mencobanya. Padahal dengan menulis setiap orang bisa berbagi pengetahuan dan juga sekaligus menggali potensi diri lebih dalam lagi. Karena pada waktu menulis tanpa di sadari kita akan mengeplorasi pengetahuan dan potensi yang sudah ada di dalam diri.

Banyak yang  mengatakan bahwa untuk menulis susah sekali terutama pada awal-awalnya, ya memang benar, dan siapapunpun sering mengalami hal itu. Yang terjadi adalah sebelum menulis kita sudah dibebani oleh Membuat Tulisan Yang Baik Dan Benar. Fokus kemudian berubah dari berbagi menjadi ingin memberi, dan mulai mempermasalahkan tehnik menulis mulalui tata bahasa, gaya menulis,  plot tulisan dan lain sebagainya. sehingga bahasa menjadi tersendat-sendat dan sering kali buntu. Yang benar adalah tidak memikirkan untuk menghasil tulisan baik dan benar, tuliskan saja apa yang di rasa. Jika rasa dalam menulis baik dan benar maka tulisan dengan sendirinya menjadi tulisan baik dan benar.





Jangan takut menuangkan kata atau ide Anda saat menulis. Di awal saya sudah mencontohkan ilustrasi cerpen BOTOL KUBUR, dan itu adalah contoh bagaimana seorang penulis tak sungkan dan tak ragu mengalirkan kata-kata pilihannya. Seringkali penulis terlampau ketat memikirkan kata-kata yang hendak ditulisnya, dan ini lebih sering berakibat fatal karena pada akhirnya tulisannya tidak mengalir.

DAYA CERPEN MENAFSIR MANUSIA

Sekalipun katanya ada orang bisa berjalan di atas air berkat membaca doa secara benar, ia sadar dan yakin itu tidak harus berarti bisa terwujud dalam pengertian dapat disaksikan dengan mata kepala sendiri. Ia menganggap kemampuan berjalan di atas air hanya mitos, dongeng, khayal, atau hanya perlambang bebasnya tubuh seseorang dari keterikatan duniawi. Maka suatu ketika sampailah ia, Guru Kiplik, di sebuah pulau terpencil nan makmur berpenduduk hanya sembilan orang yang tak putus-putusnya berdoa. Guru Kiplik yang terkenal tekun mengajari orang-orang cara berdoa yang benar langsung menilai bahwa penduduk pulau berdoa dengan cara yang salah. Ia menilai doa mereka justru memohon kutukan bagi diri sendiri. Akhirnya dengan bersusah-payah Guru Kiplik mengajar penduduk pulau cara berdoa yang benar. Setelah sembilan orang itu dianggapnya berhasil, pamitlah Guru Kiplik untuk melanjutkan perjalanan. Namun di atas perahu layar yang membawanya pulang, Guru Kiplik dibuat terpana. Matanya terkerjap-kerjap, mulutnya menganga, karena tak percaya atas apa yang ia lihat. Guru Kiplik menyaksikan bagaimana sembilan orang penghuni pulau tiba-tiba mengejarnya kembali dengan berlari-lari cepat sekali di atas air. Mereka mendekati perahu layar sambil berteriak-teriak, "Guru! Guru! Tolonglah kembali Guru. Kami lupa lagi cara berdoa yang benar!"

Sebagaimana ringkasan cerita di atas, begitulah kira-kira sebuah ironi dan satire hendak disampaikan Seno Gumira Ajidarma lewat cerpennya berjudul Dodolitdodolitdodolibret. Ironi, bahwa kebenaran yang seseorang genggam dan anut dengan kacamata kebenarannya sendiri kadang bukan merupakan sebuah kebenaran absolut. Satire, bahwa dibalik cerpen yang tokoh imajinernya Guru Kiplik, terkandung pesan mendalam yang terasa mengolok formalitas kaku kita dalam melihat kebenaran, atau menggelitik-gelitik ketaatan buta kita pada versi-versi kebenaran yang belum tentu paling benar.
     Begitulah kedigdayaan cerpen menafsir manusia. Kehidupan manusia yang hitam-putih, dualisme antara bayang-bayang iblis dan malaikat, penuh anomali dan pertentangan, serta sarat dengan tonjolan sikap yang-- pinjam istilah Pakubuwana IV-- serba "adigang-adigung-adiguna", mendudukkan esensi manusia sebagai semesta tafsir yang luas dan komplek, sebagaimana manusia itu sendiri yang suka-sukanya pula menafsirkan alam semesta.

 Semesta diri manusia yang luas dan komplek hanya mungkin dijangkau utuh oleh yang sejatinya tak tunduk pada keterbatasan, yakni gelombang gagasan dan imajinasi. Karena ia adalah perwujud dari gelombang gagasan dan imajinasi, maka cerpen berkemampuan hadir aktif menafsir manusia, meski ia produk budaya dari pikiran manusia itu sendiri.
     Ketika menafsir manusia, cerpen tak tunduk pada keterbatasan dan dengan begitu ia bebas menjelajahi eksistensi manusia dengan seluruh realitasnya, termasuk bebas mengaduk-aduk ketidakberesan yang berlangsung di tengah manusia dan bebas masuk ke semua alam akal, ruh, ide, laku, serta dinamisasi alam materinya. Dalam rangka menafsir, cerpen bahkan mampu menemukan apa yang tersembunyi di ruang gelap pikiran manusia sekalipun dan punya kedigdayaan untuk bilang "tidak" justru di saat culture masyarakat sekitar penulisnya lebih sering berkata "ya" sebagai bentuk kepatuhan terhadap entah penguasa entah dogma.

Ilham
     Terkadang berseberangan dengan kedudukan penulisnya yang "terhormat" atau "tidak terhormat" (dalam budaya penilaian masyarakat kita yang cenderung menggunakan kacamata penilaian tata-tingkat), atau berlawanan dengan kelemahan-kelemahan penulisnya yang secara realitas hidupnya mungkin belum bahagia dan belum berdaya, cerpen justru serba memahami apa yang semua orang ingini berkait kehormatan, dan ketika ia bicara tentang kebahagiaan, ia sangat teliti menjelaskan apa arti bahagia lengkap dengan atribut-atributnya.
      Kemudian tak terhitung jumlah cerpen yang aktif menafsir manusia berkait ritme kehidupan mereka yang paling absurd  atau paling cabul sekalipun dengan berbagai sudut pandang tingkah-laku: kekerasan, ketidakadilan, kemunafikan, kepandiran, frustasi, kegilaan, kesenangan, kekuasaan, dendam, asmara, bahkan hingga ke batas-batas sakral keyakinan yang masih manusia sering ragukan maka dengannya digedor berulang-ulang, dan semua dijangkau dengan beragam gayanya menafsir, entah dengan narasi gurauan, sindiran, romantisme, harapan, atau to the point menonjolkan ekspresi protes, kegeraman, provokatif, penghinaan. Di posisi ini, penulis cerpen kerap hanya menjalankan peran sebagai narator atau penyampai atas "ilham" yang diajukan secara misteri, dalam keserbaan waktu, lewat konstruksi kehadiran serba misterius pula, ke semesta pikirannya. Di posisinya, berkait ilham dan proses kreatif, penulis sendiri banyak mengakui apa yang mendasari terciptanya karya-karya cerpen mereka, bahwa kebanyakan mereka tidak tahu, atau kebanyakan bilang lupa, atau mengatakan, "semua kehendak ilham. Penulis hanya alatnya."

Inkonsistensi tafsir kuasa manusia
     Kedigdayaan cerpen menafsir manusia memang sesekali berbuah silang-sengketa di jagat manusia. Ketika cerpen hadir menyentil, menggugat, atau merespon status quo pemahaman manusia dengan tafsir pemahaman literernya yang berbeda, tak jarang ia disikapi pro dan kontra. Inilah yang pernah dialami sebuah cerpen berjudul Langit Makin Mendung yang tergelincir kala ditarik ke pro-kontra demikian. Begitu pula dengan cerpen Jangan Main-Main dengan Kelaminmu yang sempat dianggap kontroversial juga saat dibenturkan dengan pemahaman yang hidup di tengah masyarakat.
     Betapapun tafsirnya kadang tak dikehendaki, sungguh tak adil memang jika dilakukan pengikisan terhadap digdaya tafsir cerpen lewat kedigdayaan kuasa manusia entah atas nama moral, kekuasaan, atau dogma suci, sementara pada saat yang sama realitas kekuasaan selalu jauh dari harapan dan aktualisasi tingkah-laku sehari-hari manusia sendiri semakin jauh pula dari mengakomodasi nilai-nilai moral dan nlai-nilai dogmatis kesucian itu. Inilah sikap inkonsistensi kita, bentuk kemunafikan kita, serba kemenduaan kita. Keteguhan kita menggusur atau mengeliminasi cerpen atau karya seni lain yang dianggap bertentangan, tidak diimbangi dengan keteguhan kita mengikis penyakit masyarakat, laku korupsi, ketidakadilan, kekerasan, serta berbagai maksiat di negeri ini. Di sinilah ironinya bahwa kita masih menyandarkan segala sesuatu pada hukum komplek, bahwa siapa yang terkuat dan terbanyak maka ia yang menang. Pada sebuah kesempatan penyair dan budayawan Goenawan Mohamad pernah mengajukan sebuah sindiran, kita hanya percaya pada sastra yang menentramkan, bukan pada sastra yang menggelisahkan. Ya, pada saat yang sama, kita memang hanya percaya pada cerpen yang menentramkan meski yang menentramkan itu berpotensi membonsai kreatifitas kita. Entah sampai kapan.(RD)

MENULIS CERPEN YUK

Apakah itu cerpen? Apakah ia hanya sehablur abjad yang mengonggok rata di halaman-halaman kertas, yang sedemikian rupa disusun dengan rangkai kata, dimakna dengan rangkai kalimat, imajinasi, plot, dan ending, lalau diberi judul semanis mungkin? Apakah itu cerpen? Apakah ia hanya kentut eskapis orang-orang bernama yang banyak berkhayal?






Cerita pendek disingkat cerpen. Disebut cerita pendek karena tulisan atau narasi ini jenisnya memang pendek. Cerpen disukai karena ia bisa ditulis dan dibaca sekali duduk. Setiap orang berbakat menulis cerpen. Setiap orang berpotensi menghasilkan satu cerpen setiap harinya. 

MENULIS DAN MEMBACA

Membaca dan menulis merupakan dua hal berkait. Membaca bermanfaat karena dengannya kita dapat menyerap berbagai pengetahuan dan wawasan. Manfaat membaca akan melenturkan pola pikir agar tak purba. Orang yang jauh dari baca-membaca jelas akan tertatih-tatih menghadapi gelontoran perkembangan hidup yang cepat berubah da dengan sendirinya intelektualitas mereka menjadi terbatas. Banyak tokoh, negarawan, budayawan, seniman, dan orang-orang besar di bidangnya mula tumbuh dan menjadi sukses berkat padatnya intelektuality mereka dari membaca.
 
 Dulu, orang begitu haus dan sulit mencari bacaan karena  terbatasnya buku-buku dan koran yang terbit. Kini, jaman berubah, bacaan tersedia lengkap di toko buku atau perpustakaan, koran-koran banyak terbit, bahkan dunia digital banyak menyediakan bahan bacaan yang melimpah-limpah. Tidak ada alasan bagi kita untuk tak gemar membaca. Kegemaran membaca adalah batu asah kita agar tak tumpul.