Bagaimana caranya menulis essai atau opini? Menulis essai atau opini sebenarnya tak jauh berbeda tekniknya seperti menulis artikel atau lainnya. Bedanya, essai atau opini bukanlah tulisan fiksi, namun berupa sebuah analisa atau pendapat mengenai hal-hal aktual yang terjadi di sekitar kita. Setiap orang berhak mengemukakan pendapatnya, termasuk lewat tulisan. Namun untuk berpendapat, hendaklah disertai data-data dan analisa faktual, boleh mengkritik namun alangkah baiknya jika kritik disertai dengan alasan-alasan atau argumen yang bisa kita pertahankan, termasuk juga solusi-solusinya.
Apakah essai dan opini harus sepenuhnya ditulis dengan kalimat-kalimat ilmiah yang ketat? Saya rasa tidak juga. Di sini saya lampirkan sebuah contoh tulisan essai saya, moga-moga bisa membantu dan mencerahkan bagi Anda yang tertarik belajar menulis essai atau opini:
KORUPTOR DAN PENABUH GENDANG
Apakah essai dan opini harus sepenuhnya ditulis dengan kalimat-kalimat ilmiah yang ketat? Saya rasa tidak juga. Di sini saya lampirkan sebuah contoh tulisan essai saya, moga-moga bisa membantu dan mencerahkan bagi Anda yang tertarik belajar menulis essai atau opini:
KORUPTOR DAN PENABUH GENDANG
Praktik
korupsi dan kegaduhan elit adalah "tarian" yang terus bergerak di
tontonan televisi, jejaring sosial, dan berita-berita koran. Ini bukan
potret aneh lagi di negeri kita. Ini telah menjadi pertunjukan
sehari-hari. Menjadi tontonan yang wajar dan enak dimana sekali-kali
kita punya otoritas pula untuk bersikap apatis, sentimentil, atau
bersikap apresiatif.
Kemarin
kita baru saja menonton pertunjukan gaduh dua institusi hukum di negeri
ini. Dalam kegaduhan itu masing-masing pihak menari dengan sihir
bahasa. Dalam kegaduhan itu postur hukum dieksplor jungkir-balik. Siapa
yang menanggung dosa jika POLRI benar? Siapa yang menangguing dosa jika
KPK benar? Cukupkah pidato Presiden SBY mencairkan dan menyegarkan
kembali hubungan POLRI-KPK untuk selama-lamanya? Tentu saja, hanya ada
dua kelompok "bajingan" yang cemas dan panas-dingin jika hubungan
POLRI-KPK kembali berjalan harmonis, yakni kelompok para koruptor dan kelompok para penabuh gendang.
Para
koruptor, kita tahu, merekalah target absolut KPK. Instansi POLRI dan
Kejaksaan ikut intens juga menangani koruptor. Mereka bekerja
profesional dan bergerak seperti "hantu" untuk membuktikan bahwa
seseorang telah melakukan korupsi. Satu rupiah saja uang negara
diselewengkan, berarti hak rakyat atas uang itu telah kehilangan
marwahnya, itu sebab para koruptor didaulat pula sebagai musuh rakyat.
Para koruptorlah yang menyebabkan mimpi kemakmuran di negeri ini selalu
kehilangan gizi. Para koruptorlah yang menyebabkan anak-anak negeri
menjadi bodoh, menjadi komoditas kapitalis, akibat mutu pendidikan yang
klise dan ilusif karena ulah [perbuatan mereka. Para koruptorlah yang
menggali lubang nasib buruk rakyat. Bajingan-bajingan tamak inilah yang
telah membonsai perekonomian Indonesia. Merekalah yang paling
bertanggungjawab atas nasib berjuta-juta rakyat yang terbuang di tempat
tak bermutu. Kita memang tidak akan menemukan hukuman yang pas dan
pantas untuk para koruptor, kecuali hukuman mati.
Korupsi
kadang-kadang hanya muncul dari satu trik pikiran kecil yang setengah
iseng. Sebagian oknum mungkin coba-coba memulainya karena ada
kesempatan. Lebih dari itu, dorongan dasarnya tentu saja keserakahan dan
ingin memperkaya diri sendiri. Tetapi begitulah, selalu ada moment
yang bisa dilakukan setiap orang jahat di tengah gurun, sekalipun di
tengah bumi yang terang-benderang, sekalipun mereka dapati seorang bocah
ingusan yang bertanya heran, "Lho kok bongkaran ini dijual? Kan ini masih milik negara?"
namun mereka tetap nekat. Tetapi siapapun kadang-kadang tidak bisa
menduga, semakin gencar uang menggelapkan mata manusia, semakin canggih
pula cara kerja penegak hukum mengendus "kreatifitas" para koruptor
dalam berbagai fenomena perbuatan mereka, otak, dan hati jahat mereka.
Dan peran aktif masyarakat, yang semakin cerdas, juga tidak diam. Ada
peribahasa, kalkulator nalar tak akan pernah salah menghitung dan baja asli tak mungkin bisa dipotong dengan gunting!
Lalu para penabuh gendang, kenapa
mereka bisa cemas dan panas-dingin juga jika hubungan POLRI-KPK kembali
berjalan harmonis? siapa mereka? Para penabuh gendang tentu saja
orang-orang yang tidak pernah menginginkan Indonesia damai. Mereka
selalu hadir dalam mozaik sejarah Indonesia, menggeliat dengan pijar
imajinasi, obsesi, pikat bahasa, politik tubuh, dan pemaknaan di ruang
publik, namun ilusif dari solusi. Hasrat mereka hanya mengacau. Mereka
sangat ahli meletupkan sensasi di ruang publik dan sangat ampuh memikat
publik dengan kultur lisan yang sloganistik, penuh gairah, heroik.
Tidak ada pemimpin atau penguasa yang ideal di mata para penabuh
gendang. Tidak ada kebijakan yang tepat di mata para penabuh gendang.
Mereka terpuaskan jika banyak pihak mulai menari di atas gendang mereka.
Tentu
saja para penabuh gendang tidak menginginkan jika hubungan POLRI-KPK
kembali harmonis. Penabuh gendang itu congkak, paling merasa bisa dan
merasa paling mengerti atas segalanya, termasuk paling ahli
melihat-lihat cela orang lain. Itu sebab mereka alergi terhadap
"ketertiban" dan alergi terhadap "keharmonisan" karena "kegaduhan"
adalah pertunjukan utama yang selalu mereka inginkan. Jika POLRI-KPK
harmonis, maka tak ada lagi tarian yang bisa dipertontonkan dari
keduanya dan irama gendang yang mereka tabuh akan lesap tanpa makna.
Tanpa kegaduhan berarti mereka kehilangan audiens, sunyi, layu,
papa, walau harus diakui mereka cukup agresif untuk mengekploitasi
persoalan-persoalan lain dan meletupkannya menjadi wacana kegaduhan
baru. Merekalah yang memprovokasi massa, menunggangi mahasiswa, dan
banyak berceloteh tanpa solusi di media. Sesungguhnya rakyatlah yang
paling banyak dikorbankan oleh praktek para penabuh gendang. Kata-kata
"rakyat" adalah mantera dalam sihir bahasa mereka, sekaligus sebagai
justifikasi mereka untuk menggapai pemaknaan di ruang publik. Padahal
sesungguhnya mereka memperlakukan rakyat tak ubah batu yang mudah
dibentur-benturkan dan tak ubah kue lapis yang mudah diiris-iris. Kapan
saja, sejak dulu kala. (RD)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar