Rabu, 10 Oktober 2012

KORUPTOR & PENABUH GENDANG




Praktik korupsi dan kegaduhan elit adalah "tarian" yang terus bergerak di tontonan televisi, jejaring sosial, dan berita-berita koran. Ini bukan potret aneh lagi di negeri kita. Ini telah menjadi pertunjukan sehari-hari. Menjadi tontonan yang wajar dan enak dimana sekali-kali kita punya otoritas pula untuk bersikap apatis, sentimentil, atau bersikap apresiatif.

Kemarin kita baru saja menonton pertunjukan gaduh dua institusi hukum di negeri ini. Dalam kegaduhan itu masing-masing pihak menari dengan sihir bahasa. Dalam kegaduhan itu postur hukum dieksplor jungkir-balik. Siapa yang menanggung dosa jika POLRI benar? Siapa yang menangguing dosa jika KPK benar? Cukupkah pidato Presiden SBY mencairkan dan menyegarkan kembali hubungan POLRI-KPK untuk selama-lamanya? Tentu saja, hanya ada dua kelompok "bajingan" yang cemas dan panas-dingin jika hubungan POLRI-KPK kembali berjalan harmonis, yakni kelompok para koruptor dan kelompok para penabuh gendang.




Para koruptor, kita tahu, merekalah target absolut KPK. Instansi POLRI dan Kejaksaan ikut intens juga menangani koruptor. Mereka bekerja profesional dan bergerak seperti "hantu" untuk membuktikan bahwa seseorang telah melakukan korupsi. Satu rupiah saja uang negara diselewengkan, berarti hak rakyat atas uang itu telah kehilangan marwahnya, itu sebab para koruptor didaulat pula sebagai musuh rakyat.  Para koruptorlah yang menyebabkan mimpi kemakmuran di negeri ini selalu kehilangan gizi. Para koruptorlah yang menyebabkan anak-anak negeri menjadi bodoh, menjadi komoditas kapitalis, akibat mutu pendidikan yang klise dan ilusif karena ulah [perbuatan mereka. Para koruptorlah yang menggali lubang nasib buruk rakyat. Bajingan-bajingan tamak inilah yang telah membonsai perekonomian Indonesia.  Merekalah yang paling bertanggungjawab atas nasib berjuta-juta rakyat yang terbuang di tempat tak bermutu. Kita memang tidak akan menemukan hukuman yang pas dan pantas untuk para koruptor, kecuali hukuman mati.

Korupsi kadang-kadang hanya muncul dari satu trik pikiran kecil yang setengah iseng. Sebagian oknum mungkin coba-coba memulainya karena ada kesempatan. Lebih dari itu, dorongan dasarnya tentu saja keserakahan dan ingin memperkaya diri sendiri. Tetapi begitulah, selalu ada moment yang bisa dilakukan setiap orang jahat di tengah gurun, sekalipun di tengah bumi yang terang-benderang, sekalipun mereka dapati seorang bocah ingusan yang bertanya heran, "Lho kok bongkaran ini dijual? Kan ini masih milik negara?" namun mereka tetap nekat. Tetapi siapapun kadang-kadang tidak bisa menduga, semakin gencar uang menggelapkan mata manusia, semakin canggih pula  cara kerja penegak hukum mengendus "kreatifitas" para koruptor dalam berbagai fenomena perbuatan mereka, otak, dan hati jahat mereka. Dan peran aktif masyarakat, yang semakin cerdas, juga tidak diam. Ada peribahasa, kalkulator nalar tak akan pernah salah menghitung dan baja asli tak mungkin bisa dipotong dengan gunting!





Lalu para penabuh gendang, kenapa mereka bisa cemas dan panas-dingin juga jika hubungan POLRI-KPK kembali berjalan harmonis? siapa mereka?  Para penabuh gendang tentu saja orang-orang yang tidak pernah menginginkan Indonesia damai. Mereka selalu hadir dalam mozaik sejarah Indonesia, menggeliat dengan pijar imajinasi, obsesi, pikat bahasa, politik tubuh, dan pemaknaan di ruang publik, namun ilusif dari solusi. Hasrat mereka hanya mengacau.  Mereka sangat ahli meletupkan sensasi di ruang publik dan sangat ampuh memikat publik dengan kultur lisan  yang sloganistik, penuh gairah, heroik. Tidak ada pemimpin atau penguasa yang ideal di mata para penabuh gendang. Tidak ada kebijakan yang tepat di mata para penabuh gendang. Mereka terpuaskan jika banyak pihak mulai menari di atas gendang mereka.

Tentu saja para penabuh gendang tidak menginginkan jika hubungan POLRI-KPK  kembali harmonis. Penabuh gendang itu congkak, paling merasa bisa dan merasa paling mengerti atas segalanya, termasuk paling ahli melihat-lihat cela orang lain. Itu sebab mereka alergi terhadap "ketertiban" dan alergi terhadap "keharmonisan" karena "kegaduhan" adalah pertunjukan utama yang selalu mereka inginkan. Jika POLRI-KPK harmonis, maka tak ada lagi tarian yang bisa dipertontonkan dari keduanya dan irama gendang yang mereka tabuh akan lesap tanpa makna. Tanpa kegaduhan berarti mereka kehilangan audiens, sunyi, layu, papa, walau harus diakui mereka cukup agresif untuk mengekploitasi persoalan-persoalan lain dan meletupkannya menjadi wacana kegaduhan baru. Merekalah yang memprovokasi massa, menunggangi mahasiswa, dan banyak berceloteh tanpa solusi di media. Sesungguhnya rakyatlah yang paling banyak dikorbankan oleh praktek para penabuh gendang. Kata-kata "rakyat" adalah mantera dalam sihir bahasa mereka, sekaligus sebagai justifikasi mereka untuk menggapai pemaknaan di ruang publik. Padahal sesungguhnya mereka memperlakukan rakyat tak ubah batu yang mudah dibentur-benturkan dan tak ubah kue lapis yang mudah diiris-iris. Kapan saja, sejak dulu kala. (RD)

Tidak ada komentar: